oleh

Soal Pencabulan Santri oleh Pengasuh Ponpes di Lamteng, LAdA DAMAR Sarankan ini ke Kemenag dan Polisi

VoxLampung.com, Bandar Lampung – Seorang pengasuh pondok pesantren di Lampung Tengah berinisial AD melakukan tindakan asusila terhadap santrinya. Kasus ini sempat dilaporkan ke Polres Lampung Tengah, namun dalam perjalanannya kasus ini ditutup lantaran korban mencabut laporan dan memilih jalan damai.

Merespons kasus itu, Direktur Eksekutif LAdA DAMAR Lampung Sely Fitriani menilai, kasus itu semakin mempertegas situasi kekerasan seksual terhadap anak sudah tidak bisa dianggap remeh.

“Apalagi, pelaku merupakan seorang pendidik, dianggap mengetahui ilmu agama yang seharusnya ikut aktif menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi (UU Nomor 35 Tahun 2014 Pasal 1), tetapi justru memberikan dampak buruk pada kondisi fisik dan psikologis anak,” kata Sely.

Sely bilang, hal yang seharusnya didapat koban, selain akses keadilan atas kasusnya, harus diberikan dukungan tanpa mengambil alih pengambilan keputusan korban.

“Privasi korban harus dijaga dengan tidak menceritakan kejadian yang menimpa korban ke pihak lain tanpa persetujuan korban. Korban tentu tidak ingin peristiwa traumatik tersebut disebar ke publik,” ungkap Sely.

Kemudian, penting mendorong korban untuk mencari dukungan dan bantuan, bila memungkinkan pendampingan ke korban untuk mencari dukungan ke individu atau lembaga layanan yang bisa membantu korban ke Layanan Medis, Perlindungan Hukum, Layanan Psikologis, maupun Layanan Terpadu seperti Rumah aman, Psikologis, Medis, Hukum.

Sely menyayangkan kasus pencabulan tersebut kini telah ditutup karena korban mencabut laporan. Sebab, pelaku kini bisa melenggang bebas, dan tidak menutup kemungkinan akan ada korban selanjutnya.

“Seharusnya kasus ini tidak ditutup, karna justru menjadi penyumbang yang membuat terus terjadinya kasus kekerasan seksual pada perempuan dan anak, dan semakin membuat traumatik anak dan tidak memberikan efek jera pada pelaku,” ujar Sely.

Menurut Pasal 76 E Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, lanjut Sely, diuraikan larangan melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, melakukan serangkaian kebohongan atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul.

Terhadap pelakunya sesuai dengan Pasal 82 ayat (1) diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000 (lima miliar rupiah).

Berdasarkan pasal 82 ayat (2) menjelaskan bahwa apabila pelakunya adalah Orang Tua, Wali, Pengasuh Anak, Pendidik atau Tenaga Kependidikan maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

“Untuk penanganan pemulihan santri anak korban kekerasan seksual, pemulihan secara psikologis menjadi salah satu langkah yang harus diambil dalam penanganan kasus kekerasan seksual terhadap anak,” paparnya.

Adapun bentuk penanganan pemulihan dan penanganan kekerasan seksual meliputi sejumlah hak:

• Restitusi, menegakkan kembali sejauh mungkin situasi yang ada bagi korban sebelum terjadi pelanggaran terhadap hak asasi manusia dan mengharuskan pemulihan.

• Kompensasi, korban kekerasan seksual seharusnya diberikan kompensasi untuk setiap kerusakan yang secara ekonomis dapat diperkirakan nilainya yang timbul dari pelanggaran hak asasi manusia, seperti kerusakan fisik dan mental, kesakitan, penderitaan dan tekanan batin, biaya medis dan biaya rehabilitasi, dan lainnya.

• Rehabilitasi untuk anak korban kekerasan seksual disediakan pelayanan hukum, psikologi, perawatan medis, pelayanan atau perawatan, dan layanan profesional lainnya.

• Jaminan kepuasan dan ketidak berulangan, anak korban kekerasan seksual mendapatkan jaminan atas pelanggaran yang menimpanya tidak terulang lagi. Sensitivitas penanganan pada anak korban juga harus sangat diperhatikan, agar tidak membuat anak menjadi korban untuk kedua kalinya (re-viktimisasi).

Dalam konteks penanganan anak korban kekerasan seksual, peran keluarga sangatlah penting dalam pemulihan. Pihak keluarga dapat menumbuhkan rasa aman kepada anak dengan cara melindunginya agar anak yang menjadi korban merasa nyaman untuk membantunya pulih dan dapat memberikan dukungan dengan menemani dan selalu mensupport anak.

Atas peristiwa tersebut, LAdA Damar menghimbau Kementerian Agama agar:

a. Memastikan adanya kebijakan pencegahan, penanganan Kekerasan Seksual di lingkungan Lembaga Pendidikan Keagamaan berasrama, lembaga keagamaan, dan lembaga pendidikan di semua jenjang untuk menjamin perlindungan, penanganan dan pemulihan korban kekerasan seksual.

b. Memastikan adanya mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di perguruan tinggi berbasis keagamaan di lingkungan Kementerian Agama untuk melaksanakan SK Dirjen Pendidikan Tinggi Islam.

c. Monitoring dan evaluasi pelaksanaan mekanisme pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di PTKIN

d. Mempercepat langkah pengembangan program moderasi agama di berbagai lembaga pendidikan dengan mengintegrasikan pemahaman mengenai wawasan nusantara dan hak-hak konstitusional, dengan perhatian pada kerentanan khusus perempuan maupun kelompok minoritas lainnya.

Sementara itu aparat kepolisian, LAdA DAMAR meminta aparat meningkatkan profesionalitas, kesigapan dalam merespons, memproses penanganan perempuan dan anak korban kekerasan seksual, serta menangkap, menghukum pelaku, juga menjamin perlindungan dan keamanan korban.

“Serta memastikan tidak terjadinya penundaan berlarut dalam penyelidikan atau penyidikan kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak,” pungkas Sely. (*)

Print Friendly, PDF & Email

Komentar

Rekomendasi