oleh

Nobar Film G30S/PKI, BEM Poltekkes Tanjungkarang Juga Ajak Renungi “Matinya” KPK

VoxLampung.com, Bandar Lampung – Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) KM Poltekkes Tanjungkarang menggelar nonton bareng film G30S/PKI dan Aksi Renungan Suci G30STWK. Kegiatan ini bertepatan pada momentum G30S/PKI pada hari Kamis tanggal 30, September 2021.

Kegiatan ini turut mengundang pula mahasiswa dan mahasiswi se-Lampung, baik itu perwakilan BEM sejumlah kampus, dan seluruh mahasiswa Poltekkes Tanjungkarang sendiri.

Pada momen tersebut, BEM Poltekkes Tanjungkarang mencoba menyuarakan kembali semangat mahasiswa yang diimplemetasikan dalam acara Nonton Bareng (Nobar) G30S/PKI, dilanjutkan Aksi Renungan Suci G30S TWK untuk memperingati kejadian pembataian 6 jendral dan 1 perwira dalam kejadian berdarah G30S/PKI.

“Sekaligus juga memperingati akan matinya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang ditandai dengan dipecatnya 57 pegawai KPK, bertepatan di tanggal 30 September,” Kata Presiden Mahasiswa Poltekkes Tanjungkarang, Helen Marta Boy Tama, melalui keterangan tertulisnya.

Menurut Helen, kejadian ini merupakan penghinaan terhadap bangsa Indonesia, mengingat bahwas di tanggal tersebut merupakan tanggal dimana terjadi pembantaian terhadap pahlawan revolusi.

“Pada saat ini pula telah terjadi lagi pembantaian pahlawan pemberantasan tikus berdasi yakni KPK,” ungkap Helen.

Sementara itu, Menteri Luar Negeri BEM Poltekkes Tanjungkarang Apriyadi menambahkan, ada beberapa poin yang menjadi landasan mengapa mahasiswa harus turut aktif dalam penyelamatan dan penguatan KPK.

Pertama, KPK dilemahkan dengan terstruktur, sistematis dan masif sejak 2019. Dimulai dengan disahkannya UU KPK Nomor 19 Tahun 2019 yang ditolak oleh banyak kalangan, seperti akademisi, guru besar, mahasiswa, KPK secara lembaga, dan masyarakat lainnya.

Kedua, hadirnya UU KPK 19 Tahun 2019 menjadi preseden buruk untuk KPK karena banyak catatan di dalamnya yang membuat KPK memiliki kuasa yang makin terbatas dan melemahkan independensi lembaga.

“Dialihkannya status pegawai KPK menjadi ASN dan interpretasi KPK yang masuk pada lingkup eksekutif cenderung akan mengganggu independensi,” kata Apriyadi.

Ketiga, lanjut Apriyadi, salah satu bukti melemahnya KPK adalah diterbitkannya SP3 (Surat Pemberhentian Penyidikan dan Penuntutan) Kasus BLBI Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih Nursalim.

Kerugian negara atas kasus tersebut sekitar Rp 4,58 Triliun. Penerbitan SP3 BLBI dinilai sebagai dampak dari adanya UU 19 tahun 2019 tentang UU KPK yakni pada Pasal 40 bahwa KPK memiliki wewenang untuk menghentikan penyidikan dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang mana telah dilakukan penyidikan dan penuntutan namun tidak selesai dalam jangka waktu paling lama dua tahun.

“Hal ini membuka kemungkinan kasus-kasus besar lain yang tidak mampu ditangani dalam dua tahun akan dilepaskan begitu saja, hal ini buntut dari perubahan UU KPK,” ujarnya.

Keempat, Pimpinan KPK bermasalah. Track record Firli Bahuri saat menjabat deputi penindakan KPK, Firli dinyatakan melanggar etik berat. Bertemu dengan orang berperkara, terdapat 26 OTT bocor, persisnya terjadi usai pegawai ajukan surat perintah penyelidikan, pengajuan sprin penyadapan, telah kasus.

“Pun terbukti dinyatakan melanggar etik karena gaya hidup mewah menaiki helikopter pulang kampung ke Palembang,” katanya.

Selain itu, Lili Pintauli Siregar, Wakil Ketua KPK oleh Dewan Pengawas KPK dinyatakan melakukan pelanggaran kode etik dengan sanksi yang berat. Lili Pintauli Siregar diberi sanksi yang menurut Dewas berat berupa pemotongan gaji selama 12 bulan. Beberapa pimpinan KPK lainnya juga punya catatan yang kurang baik.

Kelima, kata Apriyadi, TWK yang cacat, mengandung rasisme, maladministrasi, dan melanggar HAM. Temuan dari Ombusman dan Komnas HAM bisa menjadi rujukan bagaimana kita melihat proses pelaksanaan TWK.

Terdapat 11 pelanggaran HAM yang terjadi dalam proses pelaksanaan TWK, sehingga pemecatan dengan dalih TWK yang cacat tidak selayaknya dilakukan.

“Konten pertanyaan di TWK juga sangat aneh dan mengaburkan. Mulai dari pertanyaan hasrat seksual, rasis beragama, menganggu privasi seseorang hingga pertanyaan ritual ibadah,” ujar dia.

Keenam, nasib Pegawai KPK, dengan putusan nomor 70/PUU-XVII/2019 menyampaikan bahwa peralihan pegawai KPK menjadi ASN tidak boleh merugikan hak pegawai KPK untuk diangkat menjadi ASN itu sendiri. Kini nasib 57 pegawai KPK dengan penetapan SK No.1327 sudah jelas. Mereka dipecat dengan tuduhan anti-pancasila dari TWK yang cacat.

“Janggal sekali, bukankah mereka sudah bertahun-tahun mengabdi membela hak rakyat dan negara dengan melakukan perlawanan terhadap para maling negara. Masih kah dianggap Anti-pancasila?” pungkas Apriyadi. (*)

Print Friendly, PDF & Email

Komentar

Rekomendasi