VoxLampung, Bandar Lampung – Pagi itu, Suyati (55) menarik nafas dengan berat. Tubuhnya bersandar di kursi yang sejajar dengan meja, di dapur rumah. Tangannya terkulai di pangkuan dengan jemari masih menggenggam lemah sebuah gawai. Pandangannya kosong.
“Bu, halo bu, jadi gimana? Tanggung jawab lah bu. Masih punya malu kan?” terdengar dari gawainya suara seseorang bicara.
“Jangan salahkan kami ya kalau hari ini kami datangi RT dan RW di lingkungan rumah ibu. Tetangga juga bakal tahu semua kalau keluarga ibu hutangnya banyak. Atau sekalian saya buat grup WA ya biar tetangga dan teman-teman anak ibu sumbangan buat bayar hutangnya. Bu, jawab bu!” lanjut suara di seberang.
Perempuan paruh baya itu melirik ke arah gawainya. Lalu jemarinya menekan tombol merah, menutup telepon. Suasana kembali hening, hanya terdengar suara embusan nafas panjang yang dibuangnya lewat mulut dan detak jam dinding. Terlihat jarum jam pendek menunjuk angka delapan, dan jarum panjang di angka enam.
“Capek saya. Handphone ini tidak pernah berhenti ditelepon penagih hutang,” kata Suryati, memulai percakapan dengan suara lemah.
Suryati merupakan salah satu korban teror pinjaman daring atau online (pinjol). Nomor teleponnya didaftarkan sebagai nomor darurat oleh putranya, MS (28) yang terjerat hutang pinjol. Tak hanya satu, puluhan aplikasi pinjaman online baik legal maupun ilegal terus menerornya agar putra bungsu Suryati itu segera melunasi hutang.
Telepon dari penagih hutang tak pernah istirahat. Sesekali ia sengaja tak mengaktifkan gawainya. Namun jika ada keperluan, terpaksa diaktifkan dan tentu saja langsung diserbu oleh telepon penagih pinjol. Ia juga tak bisa serta merta mengganti nomor telepon, lantaran nomornya itu cukup penting dan sudah digunakan belasan tahun.
Selain penagihan via telepon, penagih juga beberapa kali datang ke rumahnya yang berada di Jalan Tirtayasa, Sukabumi, Bandar Lampung. Meski sudah dijelaskan bahwa putranya sedang tak di rumah, dan tak ada uang untuk membayar, namun penagih tetap datang berkali-kali dan membuat Suryati ketakutan lantaran disertai dengan pengancaman.
Janda tiga anak itu mengaku jengah dan sangat mengutuk kehadiran pinjaman online dan judi online di tanah air. Sebab, putranya terjerat pinjaman online lantaran butuh uang untuk transaksi judi online.
“Dia (putranya) awal-awal main judi online itu pernah menang. Kalau tak salah dapat Rp5 juta. Itu yang membuat dia penasaran dan pengen main lagi. Akhirnya semua harta benda habis dijual. Termasuk motor. Sekarang merambah ke pinjol, dan akhirnya saya yang ditagih-tagih,” tutur Suryati.
“Semua gara-gara judi online. Anak saya yang kurang pengetahuan ini terperdaya iming-iming aplikasi judi online,” imbuhnya sembari menitikkan air mata.
Suryati adalah satu di antara jutaan masyarakat Indonesia yang terkena dampak negatif judi online dan jerat pinjaman online. Bukan hanya kalangan bawah, judi online juga merambah di kalangan atas, pejabat, bahkan aparat penegak hukum.
Masih lekat di ingatan ketika seorang polisi wanita (Polwan), Briptu Fadhilatun Nikmah, dengan nekat membakar suaminya sendiri yang juga polisi, Briptu Rian, di Asrama Polisi Kota Mojokerto. Sang suami akhirnya meninggal pada Minggu, 9/6/2024, setelah mengalami luka bakar 90%. Motif pembakaran itu, menurut pengakuan Briptu Fadhilatun lantaran ia kesal kepada suaminya yang menghabiskan uang untuk judi online.
Ancaman Serius Judi Online
Judi online menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Pasalnya, dampak negatif dari aktivitas tersebut yaitu kerugian finansial, ketergantungan, hingga degradasi moral.
Berdasarkan data satgas pemberantasan judi online, Indonesia menjadi negara tertinggi pengguna judi online. Tercatat, pemain judi online di Indonesia lebih dari 4 juta orang.
Dari jumlah itu, pemain judi online usia di bawah 10 tahun mencapai 2% dari pemain, dengan total 80.000 orang. Kemudian, yang berusia 10-20 tahun mencapai 11% atau 440.000 orang. Sisanya, sebanyak 13% usia 21-30 tahun, 40% usia 30-50 tahun, dan 34% usia di atas 50 tahun.
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat, ada 168 juta transaksi judi online dengan total akumulasi perputaran dana mencapai Rp327 triliun sepanjang tahun 2023. Akumulasi perputaran dana transaksi judi online mencapai Rp517 triliun sejak tahun 2017.
Teranyar, PPATK mengungkap bahwa sebanyak 97 ribu anggota TNI-Polri serta 461 pejabat negara teridentifikasi terlibat dalam aktivitas judi online. Itu disampaikan oleh Koordinator Kelompok Humas PPATK, Natsir Kongah, dalam dialog di Kompas TV bertema “Perang Melawan Judi Online” pada Kamis, 7/11.
Selain anggota TNI-Polri dan pejabat negara, PPATK juga mencatat bahwa sekitar 1,9 juta pegawai swasta dari berbagai kalangan juga turut terlibat dalam judi online. Di antaranya kalangan pengusaha, dokter, pedagang, ibu rumah tangga, buruh, seniman, hingga pensiunan.
Jerat Pinjaman Online dan Kaitannya dengan Judi Online
Pinjaman online, khususnya yang berizin, sejatinya bisa membantu masyarakat jika digunakan dengan cara yang baik dan untuk keperluan mendesak. Kendati demikian, bunga pinjaman yang sangat tinggi terkadang justru semakin menjerumuskan masyarakat ke dalam lingkaran hutang.
Praktik gali lubang tutup lubang yang dilakukan masyarakat justru menambah masalah baru. Terlebih lagi, saat ini pinjaman online bisa dikatakan menjadi sumber dana paling instan bagi para pelaku judi online untuk bertransaksi.
Fakta-fakta ini menjadikan pinjol dan judol menjadi satu paket permasalahan yang sedang dialami oleh sebagian besar masyarakat Indonesia. Persoalan ini, jika tak segera ditangani, dikhawatirkan akan seperti bola salju, yang jika terus bergulir akan semakin besar.
Berdasarkan survei Microsoft tahun 2022 yang disampaikan Bill Gates, akses ke internet warga Indonesia terbilang tertinggi di dunia. Akan tetapi, indeks keberadaban digitalnya terendah se-Asia Tenggara. Dampak yang nyata adalah merebaknya judi online dan pinjaman online.
Untuk itu, diperlukan edukasi dan literasi keuangan yang lebih gencar kepada masyarakat. Semua kalangan, termasuk generasi muda, harus diberi pemahaman ihwal pengelolaan keuangan yang sehat di era digital ini.
Peran OJK dalam Meningkatkan Literasi Keuangan Digital Guna Menekan Judol dan Pinjol
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sejauh ini telah menjalankan fungsinya sebagai lembaga pemerintah yang bertugas mengatur dan mengawasi seluruh kegiatan di sektor jasa keuangan di Indonesia. OJK telah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) bersama dengan 16 otoritas, kementerian, dan lembaga terkait yang bertujuan mengatasi problematika aktivitas keuangan ilegal di berbagai sektor yang dapat menimbulkan risiko dan kerugian bagi masyarakat.
Melalui Satgas PASTI, berbagai tindakan pencegahan dan penanganan dilakukan secara lebih efektif dan terkoordinasi. Setidaknya, sebanyak 2.741 entitas keuangan ilegal telah diblokir, mulai dari Januari-September 2024. Sebanyak 2.500 di antaranya adalah pinjol ilegal.
Tindakan pencegahan juga dilakukan dengan melakukan sosialisasi dan edukasi untuk meningkatkan indeks literasi keuangan. Bersama Kepolisian Daerah (Polda) Lampung, Pemerintah Daerah (Pemda), dan lembaga lainnya, OJK kerap menggelar kegiatan edukasi kepada sejumlah kalangan yang merepresentasikan masyarakat. Di antaranya yakni Aparatur Sipil Negara (ASN), Bhabinkamtibmas, kader Posyandu, perangkat desa, perwakilan Koramil, bahkan pelajar.
“Peran dan sinergi antar lembaga yang tergabung dalam Satgas PASTI demi memberantas aktivitas keuangan ilegal sangat dibutuhkan. Kami berharap rekan Bhabinkamtibmas dapat mendukung langkah ini dengan berperan langsung di tengah masyarakat untuk menumbuhkan sikap kehati-hatian dan kewaspadaan dalam menerima tawaran dari pihak yang tidak bertanggung jawab, baik berupa investasi ilegal, pinjaman online ilegal serta menghindari dampak destruktif dari judi online,” kata Otto Fitriandy, Kepala OJK Provinsi Lampung yang disampaikan melalui Dwi Krisno Yudi Pramono, saat kegiatan edukasi kepada Bhabinkamtibmas Lampung Tengah, Rabu, 21/08, silam.
Kendati demikian, edukasi keuangan dalam rangka meningkatkan literasi keuangan tersebut mesti dilakukan lebih masif dengan jangkauan yang kian luas. Ini mengingat bahwa individu yang melakukan aktivitas judol dan pinjol saat ini berasal dari semua kalangan masyarakat.
Merujuk hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) tahun 2024 menunjukkan indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 65,43 persen, sementara indeks inklusi keuangan sebesar 75,02 persen.
“Jadi, kalau 65 persen artinya baru 2/3 masyarakat Indonesia yang terliterasi keuangan digital. Masih ada kurang lebih 1/3 masyarakat lagi yang harus terus kita literasi dengan baik,” kata Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Budi Arie Setiadi, di Jakarta, Kamis, 17/10/2024, lalu, dikutip dari Antara.
Hasil SNLIK 2024 tersebut menunjukkan segmen masyarakat yang memiliki tingkat literasi dan inklusi keuangan yang lebih rendah dibandingkan tingkat nasional, yaitu penduduk yang tinggal di perdesaan, dan jika berdasarkan kelompok umur, yakni penduduk umur 15-17 tahun serta 51-79 tahun.
Sedangkan jika berdasarkan pendidikan tertinggi yang ditamatkan, yakni penduduk dengan pendidikan rendah atau tamat SD/sederajat ke bawah. Lantas, jika berdasarkan kegiatan sehari-hari, adalah segmen masyarakat yang tidak bekerja, pelajar, mahasiswa, petani, peternak, pekebun, nelayan, dan pekerja selain pegawai profesional, pengusaha, wiraswasta, pensiunan, bahkan purnawirawan.
Data hasil survei tersebut sangat sinkron dengan kondisi di lapangan, salah satunya seperti yang dialami putra dari Suryati. Putranya termasuk dalam segmen masyarakat dengan pendidikan rendah dan tidak bekerja. Suryati sangat berharap putranya mendapatkan pemahaman literasi keuangan agar ke depan tak lagi terjerumus pinjol dan judol.
Seperti diketahui, bahwa hasil SNLIK menjadi salah satu faktor utama bagi OJK dan pemangku kepentingan lainnya dalam menyusun kebijakan, strategi, dan perencanaan produk dan layanan keuangan yang sesuai kebutuhan dan kemampuan konsumen dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Maka diharapkan OJK segera menyasar kelompok-kelompok tersebut untuk diedukasi.
Edukasi tak mesti dilakukan secara tatap muka. Sosialisasi secara masif bisa dilakukan melalui platform digital seperti YouTube, media sosial Instagram, TikTok, maupun Facebook. Selain itu, edukasi dalam bentuk tulisan yang dipasang di ruang publik juga dapat dilakukan untuk mendoktrin masyarakat.
Pemahaman ihwal literasi keuangan mesti sampai kepada masyarakat luas agar lebih bijak mengelola keuangan dan memanfaatkan layanan keuangan digital. Dengan begitu, masyarakat tak mudah tergiur iming-iming mendapatkan uang secara instan seperti judi online maupun pinjaman online.(Imelda)
Komentar