oleh

Film Invisible Hopes, Sebuah Panggilan untuk Peduli Anak-anak yang Lahir di Balik Jeruji Besi

VoxLampung, Bandar Lampung – Lam Horas Film bersama Lembaga Advokasi Perempuan DAMAR menggelar nonton bareng dan diskusi film Invisible Hopes. Nobar berlangsung di Bioskop CGV Transmart Lampung, Jalan Sultan Agung, Way Halim, Bandar Lampung, Rabu, 13/9/2023.

Dirilis sejak Mei 2021, nyatanya hingga kini belum ada tindak lanjut nyata dari pemerintah ihwal nasib anak-anak yang lahir dari ibu narapidana, sebagaimana diangkat dalam film dokumenter besutan sutradara Lamtiar Simorangkir itu.

Invisible Hopes telah meraih penghargaan Film Dokumenter panjang terbaik pada Festival Film Indonesia (2022) dan Penyutradaan Film Panjang Terbaik (Piala Maya).

Total sudah 17 daerah disambangi Lamtiar Simorangkir dan tim, termasuk Bandar Lampung, demi kampanye kemanusiaan tersebut. Mereka keliling demi merangkum berbagai rekomendasi terkait nasib anak-anak perempuan narapidana.

“Kami akan mengumpulkan rekomendasi dari 17 daerah ini untuk dibawa ke Kementerian Hukum dan HAM,” kata Lamtiar dalam sesi diskusi.

Lamtiar menjelaskan, tujuan membuat film dokumenter tersebut bukan untuk menjelek jelekkan pihak tertentu, tapi kita ingin mengajak Kemenkumham menjadi lebih baik, dan mendorong stakeholder terkait untuk melakukan sesuatu.

“Kami ingin film ini dipakai sebagai alat informasi, yang bisa dipakai masyarakat, bahwa ada anak anak yang lahir di dalam penjara. Kita ingin sama-sama mengetuk hati pemerintah. Kami harap ada pertolongan negara. Kami berharap banyak yang peduli. Dengan adanya nobar film ini, kita mendorong masyarakat maupun negara untuk membantu,” ungkap Lamtiar.

Nobar Film Invisible Hopes di CGV Transmart Bandar Lampung. | VoxLampung

Lamtiar bilang, pembuatan film memakan waktu sekitar tiga tahun. Mereka merekam kegiatan di sejumlah rutan dan lapas di kawasan Jakarta dan Bandung. Kendati mendapatkan banyak sekali video tentang kondisi yang memprihatinkan, namun tak bisa semua ditampilkan di dalam film.

“Apa yang kita sama-sama lihat di film, mungkin baru 10% dari yang kami lihat. Kami pilih mana-mana yang cukup mewakili gambaran yang ada di dalam,” ungkapnya.

Film ini menggambarkan bagaimana kehidupan para perempuan yang menjalani kehamilan, hingga melahirkan dan mengurus bayi mereka di balik jeruji besi. Nasib anak-anak tersebut sangat jauh dari kata layak, sejak dari dalam kandungan, kelahiran, bayi, hingga usia tiga tahun.

Kebutuhan sandang pangan anak-anak tersebut tidak ditanggung oleh negara. Mereka juga tidak mendapatkan tempat yang layak, asupan gizi yang layak, dan keterbatasan akses kesehatan.

“Hal kecil saja, kita dorong masyarakat untuk memberi bantuan ke dalam sana (penjara). Karena anggaran makan saja tidak ada di Lapas, karena bukan tanggung jawab Lapas. Sedangkan mereka (napi perempuan yang hamil dan melahirkan di penjara) kan mayoritas dari kalangan bawah. Jadi walaupun bantuan itu berupa pampers saja, akan sangat berarti bagi mereka,” kata Lamtiar.

Para napi perempuan tersebut banyak di antaranya tersandung kasus Narkoba. Mereka dipidana karena bertindak sebagai kurir Narkoba.

“Banyak yang kasusnya ternyata kurir narkoba, yang sebenarnya mereka sendiri tidak tahu bahwa yang dilakukan itu melanggar hukum. Padahal mereka hanya dibayar sekitar Rp50 ribu untuk mengantar barang ke seseorang. Tapi akhirnya terjerat hukum,” bebernya.

“Ini tidak mudah, karena secara hukum, maka hukum harus tetap berjalan. Mereka memang harus menjalani hukuman meskipun dalam keadaan hamil,” tukasnya.

Bandar Lampung menjadi salah satu lokasi yang dipilih untuk nonton bareng karena jumlah narapidana perempuannya salah satu yang tertinggi di Indonesia.

Film tersebut tidak bisa sembarangan diakses di platform streaming. Sebab, konten yang ada di film cukup sensitif.

“Kami tidak ingin apa yang ada di film itu disalahgunakan. Kami juga ingin menghindari jejak digital, agar anak-anak itu tidak terstigma negatif,” jelasnya.(*)

Print Friendly, PDF & Email

Komentar

Rekomendasi